Asosiasi Blockchain Indonesia (ABI) mengirimkan surat kepada Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) yang berisi pengaduan tentang exchanger asing kripto di Indonesia. Salah satunya yang masuk dalam daftar tersebut adalah Binance.
Chairwoman ABI, Asih Karnengsih mengungkapkan bahwa banyak exchanger asing yang telah beroperasi di Indonesia namun belum terdaftar di Bappebti. Jika terjadi secara terus-menerus, maka akan sangat merugikan negara, termasuk keluarnya arus modal di dalam negeri.
“Binance termasuk satu dari 300 exchanger asing yang telah memiliki banyak pengguna di Indonesia dan seharusnya mendapatkan perhatian dari pemerintah,” jelas Asih
Akibatnya, transaksi semua investor tersebut kemudian diproses menggunakan sistem exchanger yang ada di luar negeri. Adapun solusi yang diajukan ABI adalah pemblokiran website maupun aplikasi exchanger yang bermasalah.
Tanggapan Kominfo
Sebagai lembaga yang bertugas untuk mengatur penyelenggaraan di bidang komunikasi dan informatika, Kominfo turut memberikan komentar. Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (Dirjen IKP) Kementerian Kominfo, Usman Kansong, mengatakan bahwa belum menerima surat apapun dari Bappebti.
“Kalau Bappebti sudah mengajukan permintaan, Kominfo akan segera mengambil tindakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” jelas Usmang
Penarikan Pajak Belum Optimal
Sebelumnya, Kepala Bappebti, Didid Noordiatmoko mengatakan bahwa penerapan pajak untuk kripto belum optimal. Hal tersebut tidak terlepas dari melemahnya pasar kripto pada tahun 2022.
Pada tahun 2021, jumlah transaksi kripto sebesar Rp859,9 triliun. Sementara itu, pada tahun 2022, jumlahnya menurun drastis menjadi Rp300 triliun.
Tarif pajak untuk transaksi aset kripto dalam negeri yang terdaftar di Bappebti yaitu 0,1% untuk PPh Pasal 22 dan untuk PPN final sebesar 0,11%. Adapun utnuk tarif pajak di exchanger luar negeri sebesar 0,2% untuk PPh Pasal 22 dan PPN final sebesar 0,22%.
Baca Juga: 214 Koin Kripto Antre Izin Perdagangan ke Bappebti, Banyak Koin Lokal