Apa itu Resesi?
Resesi adalah istilah untuk kondisi penurunan drastis dalam pertumbuhan ekonomi. Resesi juga berkaitan dengan krisis ekonomi. Akan tetapi, ekonomi dapat dikatakan resesi jika pertumbuhannya terus menurun lebih dari dua kuartal berut-turut.
Pertumbuhan ekonomi terlihat dari angka PDB atau Produk Domestik Bruto yang biasanya menjadi indikator pengukur ekonomi. Saat terjadi resesi, kondisi buruk PDB mengalami penurunan drastis akibat turunnya konsumsi dan produksi.
Cara menghitung Produk Domestik Bruto yaitu dengan menggunakan rumus konsumsi masyarakat ditambah pengeluaran pemerintah, investasi luar negeri ke negara tersebut, dan ekspor dikurang impor. Nah, berikut ini terdapat beberapa contoh terjadinya resesi.
- Misalnya perusahaan X menjual sebuah produk. Akan tetapi, karena terjadi resesi, tingkat pembelian maupun konsumsi produknya jadi menurun.
- Jika pendapatan turun, maka perusahaan wajib mengurangi pengeluaran biaya termasuk tenaga kerja. Untuk itu, biasanya terjadi PHK atau pemecatan hubungan kerja
- Dampak dari PHK adalah karyawan tersebut memiliki daya beli yang berkurang sehingga daya beli dalam masyarakat pun ikut turun secara menyeluruh.
Ketiga kasus tersebut hanya terjadi dalam satu perusahaan. Namun, saat resesi, maka kasus seperti itu akan terjadi hampir di semua perusahaan dalam sebuah negara. Resesi dapat menyebabkan daya beli, produksi, PDB, hingga kesempatan kerja menurun.
Berdasarkan teori ekonomi, resesi terjadi akibat kondisi global yang hancur akibat suatu wabah atau perang besar. Kondisi ini sedang terjadi sehingga resesi tidak dapat dihindari. Bahkan, akan lebih buruk jika terjadi stagflasi.
Stagflasi
Stagflasi merupakan kondisi resesi yang terjadi bersamaan dengan tingginya angka inflasi. Inflasi tinggi artinya jumlah uang yang beredar sedang tinggi. Untuk mengatasi kondisi ini, pemerintah dan bank sentral biasanya memiliki dua pandangan kebijakan, diantaranya:
- Pandangan kontraktif berfungsi untuk mengurangi jumlah uang yang beredar.
- Padangan ekspansif berfungsi untuk menambah jumlah uang yang beredar.
Kriteria stagflasi terdiri dari inflasi meningkat, pengangguran meningkat, dan perekonomian turun. Namun, dampak yang paling berbahaya bagi masyarakat adalah kemiskinan akibat sulitnya memenuhi kebutuhan saat pendapatan sedikit atau bahkan hilang akibat PHK.
Dampak Resesi Terhadap Crypto
Berdasarkan teori ekonomi, kondisi resesi maupun stagflasi akan berdampak negatif terhadap aset keuangan. Hal ini disebabkan karena masyarakat lebih memilih untuk menyimpan uang yang dapat langsung digunakan seiring meningkatnya harga bahan pokok.
Kondisi tersebut merepresentasikan kalimat Warren Buffet, “cash is king” atau uang fiat adalah hal terbaik saat krisis. Jika kalimat tersebut menjadi acuan masyarakat, maka aset investasi seperti crypto akan bergerak turun.
Dengan demikian, resesi maupun stagflasi menyebabkan terjadinya tekanan jual yang tinggi. Hal ini terjadi karena para investor memindahkan dananya ke uang fiat agar bisa mengantisipasi kemungkinan buruk akan daya beli.
Kondisi seperti ini umumnya membuat nilai uang fiat akan bergerak naik, terutama dollar Amerika. Korelasi antara dollar Amerika dengan crypto yang negatif, sehingga wajar jika terjadi krisis, harga crypto menjadi turun.
Korelasi crypto akan terjadi ketika bank sentral dan pemerintah mulai bergerak menanggapi krisis. Akan tetapi, jika masih baru menuju atau bahkan baru terjadi krisis, maka crypto masih akan bergerak naik.
Kondisi ini telah terlihat pada tahun 2022 dan 2020, dimana pada tahun 2022 pemerintah maupun bank sentral mencoba untuk memulihkan ekonomi. Namun, tahun 2020 krisis baru terjadi karena pandemi.
Jadi, kondisi saat menuju resesi, crypto akan bergerak naik. Namun, saat usaha pemulihan resesi mulai terjadi, maka crypto akan turun.